Preprint
Essay

Filosofi Pendidikan Inklusi dalam Praktik Pendidikan Abad Ke-21 di Indonesia

Altmetrics

Downloads

384

Views

248

Comments

0

This version is not peer-reviewed

Submitted:

21 June 2024

Posted:

24 June 2024

You are already at the latest version

Alerts
Abstract
Inclusive education in Indonesia has evolved in recent years, in line with the government's commitment to provide equal education for all children, including those with special needs. This article reviews the philosophy of inclusive education and its implementation in Indonesian education. Through literature and policy analysis, it is found that although there is increasing awareness and support for inclusive education, there are still barriers that need to be overcome. These include the lack of accessibility and adequate facilities, limited teaching staff for children with special needs, and social stigma towards children with special needs. This review also identifies the characteristics of inclusive education and its implementation. In conclusion, inclusive education in Indonesia requires a holistic and collaborative approach between the government, communities, and educational institutions to create a truly inclusive and equal learning environment for all learners
Keywords: 
Subject: Social Sciences  -   Education

A. Pendahuluan

Perjalanan pendidikan di Indonesia sejak zaman sebelum kemerdekaan hingga saat ini, telah melalui berbagai perkembangan dan tantangan. Di era sebelum kemerdekaan, tidak semua anak Indonesia memperoleh kesempatan yang setara untuk memperoleh pendidikan yang layak. Diskriminiasi atas ras, gender, hingga status sosial menjadi momok bagi intelektual bangsa kala itu. Sekarang, pendidikan telah banyak berkembang dan terus berproses dalam mewujudkan tujuan mulia pendidikan bangsa. Sebagaimana amanat UndangUndang Dasar 1945 alinea keempat, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Berdasar pada visi tersebut, setiap anak Indonesia berhak mendapatkan pendidikan tanpa terkecuali. Artinya, sekolah selaku penyelenggara pendidikan, berperan penting dalam praktik pendidikan yang menyatukan berbagai budaya, keunikan, maupun keterbatasan yang dimiliki peserta didik.
Kekinian, pendidikan tengah menyoroti pelaksanaan pendidikan anti diskriminasi, termasuk pada berbagai keadaan atau kondisi peserta didik. Dahulu, istilah disabilitas identik dengan stigma kekurangan fisik yang dimiliki individu, seperti tangan yang hanya satu, bibir sumbing, dan lainnya. Namun, saat ini disabilitas memiliki arti yang lebih luas. Sebagaimana yang tertuang dalam Bab 1, pasal 1 ayat 17 yang menjelaskan bahwa penyandang disabilitas diartikan sebagai setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan atau sensorik dalam jangka waktu lama, yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh serta efektif dengan warga negara lainnya, berdasarkan adanya kesamaan hak (Menteri Pendidikan, 2023). Definisi tersebut memberikan pemahaman bahwa disabilitas tidak hanya kekurangan secara fisik, tetapi secara luas, termasuk anak-anak yang berada di daerah terpencil, mengalami trauma akibat kekerasan, kekurangan secara ekonomi, broken home, dan sebagainya.
Data menunjukkan, penyandang disabilitas di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2022 mencapai 22,5 juta orang. Jumlah tersebut mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yang berjumlah 16, 5 juta orang (Kominfo, 2023). Peningkatan jumlah tersebut berpengaruh terhadap pendidikan bagi anak disabilitas. Sekolah Luar Biasa (SLB) yang tersedia di seluruh Indonesia hanya 2.017, dengan 552 sekolah berstatus negeri, dan sebanyak 1.465 SLB merupakan milik swasta. Hal ini menunjukkan kurangnya ketersediaan pendidikan formal bagi anak disabilitas, yakni ketimpangan antara jumlah penyandang disabilitas dengan SLB yang sudah ada. Di sisi lain, praktik pendidikan bagi anak tanpa disabilitas, berpotensi dalam menunjang pendidikan bagi disabilitas, yang diusung dalam filosofi pendidikan inklusi. Inklusi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai kegiatan mengajar peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus pada kelas reguler (Bahasa, 2016).
Pada praktiknya, pemahaman akan konsep inklusi yang kurang utuh, memberikan pandangan yang berbeda-beda. Misalnya saja, stigma tentang pendidikan inklusi yang terbatas pada sekolah formal dan menerima siswa berkebutuhan khusus. Padahal, anggapan yang dimaksud itu adalah sekolah integratif, yaitu sekolah yang menerima anak berkebutuhan khusus namun justru yang melakukan penyesuaian adalah anak tersebut, dan bukan sekolahnya. Sedangkan pada sekolah inklusi, sekolah yang melakukan berbagai penyesuaian agar siswa berkebutuhan khusus dapat terfasilitasi. Dampaknya, pada sekolah yang katanya inklusi tetapi belum menerapkan prinsip-prinsip inklusi, menimbulkan maraknya permasalahan, salah satunya adalah diskriminasi dalam bentuk perundungan. Penyandang disabilitas rentan mengalami diskriminasi seperti penelitian yang dilakukan oleh Damayanto, dkk. mengungkapkan bahwa siswa berkebutuhan khusus masih mengalami perundungan secara verbal (misalnya dibentak, diancam), secara fisik (dipukul, dilempar petasan, dikroyok), dan secara psikologis (tidak diharapkan main bersama, dipaksa melakukan sesuatu) (2020). Sedangkan, anak dengan atau tanpa disabilitas, selain memperoleh pendidikan yang layak, juga berhak untuk memperoleh fasilitas, aksesibilitas, serta kesejahteraan dalam lingkungan pendidikan.
Melalui pendidikan inklusi, semestinya siswa berkebutuhan khusus dapat memperoleh hak yang setara dan diterima dalam keberagaman. Penulisan ini bertujuan untuk mengulik penyelenggaraan pendidikan inklusi saat ini, sehingga mendorong dunia yang dapat diakses dan adil bagi seluruh anak Indonesia. Hal ini merupakan salah satu cara untuk memastikan bahwa anak berkebutuhan khusus memperoleh hak yang setara tanpa dibuat sama dengan siswa lainnya, sehingga sekolah dapat mewujudkan filosofi inklusi sebagaimana mestinya. Pendidikan inklusi perlu disosialisasikan melalui berbagai media agar semua pihak memperoleh pemahaman yang utuh mengenai konsep inklusi.

B. Landasan Teori

Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus

Istilah anak berkebutuhan khusus biasa disebut juga sebagai anak dengan disabilitas. Munculnya istilah disabilitas yakni setelah adanya diskusi oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terkait pengganti dari istilah penyandang cacat pada tahun 2010. Melalui pertemuan tersebut, disepakati terminologi baru sebagai pengganti dari istilah penyandang cacat, yaitu penyandang disabilitas. Disabilitas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, sensorik dalam jangka waktu yang lama, sehingga mengalami hambatan dan kesulitan dalam berinteraksi dengan lingkungan, serta menyebabkan keterbatasan dalam melakukan tugas ataupun kegiatan sehari-hari (Bahasa, 2016). Definisi tersebut sejalan dengan Permendikbud Nomor 48 Tahun 2023 sebagaimana yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya.
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dapat dibagi menjadi dua keadaan, yakni ABK permanen, dan ABK temporer. ABK permanen adalah anak yang sudah memiliki disabilitas belajar, dan perkembangan akibat faktor internal sedari lahir. Misalnya, anak dengan disabilitas penglihatan, pendengaran, intelektual, fisik, ADHD, dan sebagainya. ABK dalam klasifikasi ini terbagi lagi menjadi beberapa klasifikasi, yakni disabilitas fisik, disabilitas sensori, disabilitas intelektual, disabilitas emosi sosial, dan anak dengan Cerdas Istimewa Berbakat Istimewa (CIBI). Sedangkan, ABK temporer diartikan sebagai anak yang mengalami disabilitas belajar dan perkembangan karena faktor-faktor eksternal. ABK temporer ini tidak memiliki hambatan dari dirinya, melainkan dari kondisi yang dialami, contohnya kemiskinan, anak yang tinggal di daerah tertinggal, anak korban kekerasan, anak terlantar, anak yang terlibat hukum, anak di daerah konflik, dan lainnya (Ashar & Rahmahtrisilvia, 2022).
Merujuk pada klasifikasi tersebut, anak berkebutuhan khusus memiliki cakupan yang luas, tidak hanya terbatas pada ABK permanen saja, namun juga anak berkebutuhan khusus yang terjadi sebab kondisi eksternal mereka. Wati, dkk (2024) menyebutkan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus di Indonesia, diselenggarakan oleh tiga bentuk lembaga pendidikan, yakni Sekolah Luar Biasa atau yang disingkat SLB, Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. Kemudian, SLB juga terbagi menjadi beberapa kategori, yaitu SLB A, yang diperuntukkan bagi anak dengan disabilitas netra, dalam hal ini memiliki hambatan penglihatan sebagian atau keseluruhan. Lalu SLB B untuk anak disabilitas pendengaran yang bervariasi, dapat menangkap suara pada tingkat tertentu atau kurang dengar, maupun tidak sama sekali mendengar.
Berikutnya SLB C yang dikhususkan bagi anak disabilitas intelektual atau disebut tunagrahita. Terdapat beberapa kategori anak berkebutuhan khusus penyandang hambatan ini, yaitu anak mampu didik, mampu latih, dan mampu rawat. Hambatan pada kategori ini juga termasuk slow learner, autism spectrum disorder (ASD), dan down syndrome. Selanjutnya SLB D untuk tunadaksa, atau anak yang mengalami disabilitas fisik, anggota gerak tidak lengkap, hingga bentuk tubuh yang tidak seperti orang umumnya. Di SLB E, yakni untuk anak yang dengan hambatan dalam mengendalikan emosi maupun kontrol sosial (tunalaras). Sekolah-sekolah tersebut termasuk ke dalam klasifikasi sekolah segregatif atau yang terpisah dari pendidikan umum dan dilaksanakan secara terpisah. Adapun sistem lain yakni secara integratif dan inklusi (Nasution, Anggraini, & Putri, 2022).
Berdasarkan data statistik yang dipaparkan oleh Kemenko PMK tahun 2021, disebutkan bahwa presentase anak dengan disabilitas usia 5 sampai 9 tahun berjumlah 3,3%, dan yang memperoleh pendidikan formal hanya sekitar 12,26%. Angka ini merujuk pada ketersediaan sekolah inklusi dan SLB yang pada Agustus 2021 yang menerima sekitar 269.398 anak, sedangkan terdapat 2.197.833 anak berkebutuhan khusus pada rentang usia tersebut (Andriani, Pangestu, Noviyanti, & Julianti, 2023). Data ini juga belum termasuk anak berkebutuhan khusus pada rentang usia di atas 9 tahun dan seterusnya. Artinya, sangat kecil kesempatan untuk ABK memperoleh pendidikan yang layak. Padahal, ABK juga memiliki hak atas pendidikan mulai dari tingkat taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi.

Filosofi Pendidikan Inklusi

Kata inklusi berasal dari Bahasa Inggris yaitu inclusion, inclusive, yang berarti mengikutsertakan, melibatkan. Inklusi merupakan lawan kata dari eksklusi yang berarti menyingkirkan, memisahkan, atau mengeluarkan. Sehingga, inklusi bermakna menyatukan atau pembauran. Inklusi juga diartikan cara menghargai setiap orang dengan latar belakang yang berbedabeda, ditinjau dari perbedaan gender, agama, suku, ataupun perbedaan fisik dan mental (Wijaya & Supriyono, 2022). Makna inklusi adalah sistem layanan pendidikan yang memberikan kesempatan agar semua anak berkebutuhan khusus dapat belajar atau dilayani di sekolah terdekat dan berada di kelas regular bersama teman-teman seusianya (Irawati & Winario, 2020). Menurut Ainscow dan Susie dalam Wijaya dan Supriyono (2022), pendidikan inklusi merupakan konsep yang diperuntukkan bagi semua anak, dengan berdasar latar belakang yang berbeda-beda dan patut dihargai. Hal ini merupakan konsekuensi dari adnaya kebijakan global yang mengusung pendidikan untuk semua (education for all) oleh UNESCO tahun 1990 (Nurfadhillah, 2021).
Inklusi diartikan sebagai filosofi yang menyatakan bahwa ruang kelas dan ruang bermasyarakat tidak lengkap tanpa mengikutsertakan anakanak dengan semua kebutuhan, yang memberi kesempatan yang sama kepada semua anak, termasuk salah satunya adalah belajar di kelas yang sama (Arriani, et al., 2022). Inklusi merupakan filosofi yang dimaknai sebagai cara pandang hidup untuk menghargai keberagaman. Inklusi bukanlah cara-cara tertentu yang terstruktur, bukan pula pendekatan yang digunakan untuk menyelesaikan suatu masalah, melainkan suatu falsafah dan konsep yang didasarkan pada hak asasi manusia. Dalam perspektif sosial budaya menurut UNESCO, pendidikan inklusi berkaitan dengan keberagaman anak, diantaranya adalah anak yang menggunakan bahasa ibu minoritas atau tidak seperti anak umum di suatu kelas, anak yang berisiko putus sekolah karena korban atas masalah tertentu, anak dari golongan agama atau kasta berbeda, anak yang sedang hamil, anak yang berisiko karena kesehatan yang rentan (misalnya penyakit bawaan, HIV, alergi), dan anak usia sekolah namun tidak bersekolah (Rosada, et al., 2018).
Sebagai manusia yang terlahir dengan keunikan dan potensi masingmasing, dengan beragamnya latar belakang keluarga, budaya, dan sebagainya, memberikan suatu pandangan untuk menghargai individu. Konsep tersebut termuat dalam landasan dalam pendidikan inklusi, yang mencakup prinsip keadilan, kesamaan, serta penghargaan atas keberagaman dan terbuka terhadap perbedaan. Melalui pendidikan inklusi, peserta didik memperoleh kesempatan sebesar mungkin untuk menerima pendidikan berkualitas yang disesuaikan pada kebutuhan setiap anak tanpa adanya diskriminasi (Andriani, Pangestu, Noviyanti, & Julianti, 2023). Kerangka inklusi termuat dalam empat falsafah pendidikan, yakni pendidikan untuk semua dimana setiap anak berhak mengakses dan mendapatkan fasilitas pendidikan. Kedua, penerimaan terhadap perbedaan, setiap anak berhak dipandang sama dan tidak didiskriminasi dalam pendidikan. Ketiga, belajar hidup bersama dan bersosialiasi, yaitu bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkan perhatian yang sama sebagai peserta didik, dan keempat adalah integrasi pada lingkungan, setiap anak berhak menyatu dengan lingkungan dan menjalin kehidupan sosial yang harmonis.
Di Indonesia, pendidikan inklusi seiring dengan semangat UndangUndang Dasar 1945 pasal 31 tentang hak pendidikan bagi setiap warga negara. Selain itu, falsafah inklusi juga didasarkan pada Pancasila yang menjadi pilar dan cita-cita bangsa, melalui perwujudan dari semboyan Bhineka Tunggal Ika. Konsep inklusi mengutamakan keberagaman dan kesetaraan dalam mencapai tujuan dari pendidikan. Sekolah selaku penyelenggara pendidikan, harus memfasilitasi dan memenuhi kebutuhan anak tanpa melakukan tindakan diskriminatif atas keadaan fisik, sosial, intelektual, emosi, maupun kondisi lainnya, termasuk anak-anak jalanan, anak berbakat Istimewa, kelompok etnis tertentu, minoritas, maupun yang terpinggirkan dari masyarakat (Nurfadillah, et al., 2022). Sehingga, pendidikan inklusi dikenal sebagai sistem pendidikan yang memberikan akses kepada semua anak, termasuk anak berkebutuhan khusus dalam memperoleh pendidikan yang setara dengan sebayanya.
Praktik pendidikan inklusi dilaksanakan dalam sekolah inklusi yang merupakan perkembangan dari sekolah terpadu. Di sekolah ini, setiap anak memperoleh layanan yang sesuai dengan kebutuhannya, dimana sekolah melakukan berbagai modifikasi terhadap kurikulum, sarana prasarana, tenaga pendidik, hingga sistem penilaiannya (Nurfadhillah, 2021). Meringkas dari penjelasan terkait inklusi, bahwa pendidikan inklusi dipahami sebagai falsafah secara luas yang menjawab ketimpangan akses pendidikan, tidak hanya dari perspektif disabilitas, melainkan terkait sosial budaya, terutama anak-anak dari kelompok minoritas, rentan, yang seringkali tereksklusi oleh masyarakat, termasuk kesulitan memperoleh hak atas pendidikan yang semestinya.

Karakteristik Pendidikan Inklusi

Pendidikan inklusi dicirikan sebagai falsafah pendidikan yang menghargai keberagaman, dan menyatukan peserta didik dalam satu kelas tanpa memandang perbedaan maupun disabilitas yang dimiliki. Suatu sekolah termasuk inklusi apabila memiliki karakteristik sebagai berikut (Jauhari, 2017):
  • Kurikulum yang disesuaikan dengan peserta didik (fleksibel).
Pada sekolah inklusi, kurikulum yang digunakan tidak dipukul sama rata untuk seluruh siswa. Kurikulum disesuaikan sebagaimana kondisi dan kemampuan peserta didik. Misalnya, terdapat anak berkebutuhan khusus yang mengalami disabilitas fisik, kaki yang terkena polio dan kesulitan untuk berjalan. Keadaan tersebut memerlukan modifikasi kurikulum terkait pembelajaran terkait, seperti olahraga. Kurikulum fleksibel diharuskan menjadi pertimbangan penting, sehingga memudahkan peserta didik dalam memperoleh layanan pendidikan untuk menunjang masa depan mereka. Pertimbangan juga didasarkan pada kebutuhan, kemampuan, potensi, dan keterampilan yang perlu dikembangkan.
b.
Pembelajaran menggunakan pendekatan yang fleksibel.
Pendidikan inklusi harus mempertimbangkan penggunaan pendekatan dalam pembelajaran, yang tidak membuat peserta didik kesulitan dalam memahami materi, sesuai dengan kemampuannya. Contohnya, di suatu kelas terdapat anak berkebutuhan khusus dengan hambatan intelektual, maka pendidik perlu memilih pendekatan yang memudahkan pemahamannya pada materi, misalnya dengan menggunakan project based learning atau pembelajaran contextual based learning.
c.
Evaluasi yang sesuai kemampuan peserta didik.
Karakteristik inklusi berikutnya adalah mengenai sistem penilaian yang fleksibel. Sekolah menyesuaikan kemampuan siswa dalam memberikan acuan evaluasi pembelajaran, tidak semua siswa disamakan, terlebih pada anak berkebutuhan khusus, tentu capaiannya dimodifikasi sesuai kondisi dan tingkat kemampuannya.
d.
Pembelajaran yang ramah.
Karakteristik dalam pendidikan inklusi yaitu pembelajaran yang diselenggarakan dengan keramahan, akan memunculkan motivasi dan mendorong anak untuk mengembangkan kemampuan, keterampilan, dan potensi-potensi yang dimilikinya.
Karakteristik-karakteristik tersebut dapat tergabung melalui beberapa hal, yakni hubungan yang ramah dan hangat antara anak, guru kelas, dan guru pendamping khusus. Lalu, kemampuan yang berbeda-beda, materi belajar yang bervariasi untuk semua mata pelajaran, pengaturan tempat duduk yang dibuat melingkar atau berkelompok, sumber belajar (media belajar untuk pelajaran tertentu), dan evaluasi berupa portofolio anak yang dikumpulkan dan dilakukan penilaian. Karakteristik lain yang juga menjadi khas pendidikan inklusi adalah ABK secara alami dianggap sebagai anggota atau bagian dari suatu kelas, tidak diasingkan atau ditempatkan di kelas khusus ABK.
Berikutnya adalah aksesibilitas yang tersedia bagi ABK. Sekolah inklusi menyediakan aksesibilitas bagi ABK, misalnya dengan toilet disabilitas, jalur untuk kursi roda, dan semacamnya. Selanjutnya, di sekolah inklusi, asesmen dilakukan secara terprogram dan berkesinambungan. Hal ini terkait keberlangsungan pembelajaran Peserta Didik ABK (PDBK) di kelas. Asesmen dilakukan sebelum pembelajaran, ketika pembelajaran, dan setelah pembelajaran. Hasil asesmen yang diperoleh akan membantu pendidik untuk melakukan modifikasi pembelajaran, sehingga sesuai dengan kemampuan peserta didik dan berjalan efektif.

C. Implementasi Filosofi Pendidikan Inklusi

Filosofi pendidikan inklusi yang telah diterapkan sejak dikeluarkannya peraturan pemerintah dan menjangkau keunikan setiap peserta didik, dalam praktiknya memiliki berbagai dinamika. Terdapat beberapa aspek penting dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi, antara lain:
  • Kebijakan (policy), dalam menerapkan pendidikan inklusi, perlu adanya aturan yang mengikat dan menjadi dasar praktik pendidikan inklusi. Melalui Permendikbud 48 tahun 2023, pendidikan inklusi terselenggara.
  • Budaya (culture), bahwa praktik pendidikan inklusi membutuhkan ruang untuk tumbuh dan berkembang. Hal ini dapat diwujudkan melalui dukungan budaya sekitar yang positif terhadap konsep inklusi.
  • Implementasi (implementation), yakni penerapan pendidikan inklusi di Indonesia dengan berbagai sumber daya yang diperlukan, seperti fasilitas, tenaga pendidik, termasuk budaya yang berkembang.
Ketiga aspek tersebut saling berkaitan satu sama lain. Melalui kebijakan, pendidikan inklusi dapat diupayakan terselenggara di seluruh sekolah, diwujudkan dengan adanya dukungan dari budaya sekitar yang terbuka dengan perubahan, dan diterapkan dengan sokongan dari berbagai sumber daya yang tersedia. Pada penelitian yang dilakukan oleh Permana Jaya dalam Andriani, dkk. (2023) di salah satu sekolah inklusi, dipaparkan bahwa sekolah tersebut sudah sangat baik dalam fasilitas fisik yakni terkait sarana prasarana. Namun, dalam penelitian di sekolah yang sama di tahun berbeda, ditemukan bahwa terdapat hambatan yang dimiliki, yaitu kurangnya guru pendamping yang kompeten dengan latar belakang pendidikan yang tepat, kurangnya sosialisasi mengenai layanan pendidikan di sekolah inklusi, terbatasnya anggaran, serta minimnya komunikasi antar pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi.
Sejalan dengan berita yang dilansir kompas.com (2023), ketersediaan guru pendamping khusus (GPK) tidak sebanding dengan siswa disabilitas, yakni 4.695 GPK untuk anak berkebutuhan khusus yang jumlahnya mencapai 135.874. Adapun tantangan pendidikan inklusi di Indonesia lainnya menurut Kustawan dan Hermawan dalam Nurfadhillah (2021) adalah adanya diskriminasi terhadap anak tertentu yang termasuk kelompok minoritas, banyaknya anak berkebutuhan khusus yang belum memperoleh pendidikan, kurikulum dan penilaian yang belum menyesuaikan kebutuhan peserta didik, pembelajaran yang belum memperhatikan karakteristik setiap anak, serta pembelajaran yang kompetitif sehingga cenderung menghargai yang menang dan tidak peduli yang kalah.
Praktik-praktik tersebut tentu akan menghambat pelaksanaan pendidikan inklusi. Selain itu, stigma-stigma yang beredar di masyarakat sebagai efek dari segregasi, seperti label terhadap anak berkebutuhan khusus dengan kata “cacat”, stigma terhadap ABK yang dianggap inferior dibanding anak umumnya, hingga anggapan terkait kecilnya partisipasi kerjasama yang dimiliki ABK (Jauhari, 2017), juga turut berdampak kurang baik dalam perkembangan pendidikan inklusi. Untuk itu, dalam mewujudkan pendidikan inklusi yang efektif, terdapat berbagai cara yang dapat dilakukan, salah satunya adalah dengan terlebih dahulu mempersiapkan atmosfer inklusi, sebelum sekolah memberlakukan sistem inklusi tersebut atau yang disebut pra kondisi. Hal ini dilakukan untuk melakukan pengondisian lingkungan terkait adanya perubahan yang akan terjadi, sehingga masyarakat dapat bersiap dan terjadi pergeseran paradigma. Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, ketiga aspek inklusi saling terkait satu sama lain, sehingga pengondisian ini juga akan mendorong budaya masyarakat yang inklusif, yakni menghargai keberagaman, dan terbuka akan perubahan.
Tidak hanya sekolah, namun lapisan masyarakat juga perlu besamasama bergandeng tangan dalam mewujudkan inklusivitas. Sistem dukungan masyarakat yang dapat dilakukan, yaitu:
  • Penghargaan dan pengakuan atas hak setiap individu sebagaimana yang tertuang dalam HAM.
  • Para ahli yang peduli terhadap dunia pendidikan yang melakukan penelitian terkait isu ini secara kuantitatif maupun kualitatif.
  • Dukungan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang dapat berperan dalam melakukan sosialisasi atau mengkampanyekan gerakan inklusi.
  • Partisipasi orang tua dan masyarakat terhadap pendidikan ABK. Sebagai orang terdekat ABK, orang tua memiliki peran penting dalam keberlangsungan pendidikan bagi anak mereka. Begitu pula masyarakat yang memiliki peran dalam menjaga dan menumbuhkembangkan sikap saling menghargai, sehingga ABK terhindar dari diskriminasi.
  • Perhatian dan kebijakan pemerintah terhadap ABK, ini juga termasuk kepedulian pemerintah terkait kemudahan akses, pemberian fasilitas, hingga media penunjang pembelajaran ABK.
Selain itu, bagi para pihak-pihak yang bersinggungan langsung dengan siswa dalam mendukung terlaksananya atmosfer inklusi di sekolah, menurut Hayes dalam Wijaya dan Supriyono (2022), perlu adanya upaya dalam pengembangan sumber daya manusia, antara lain:
  • Membuat pelatihan mengenai inklusi bagi seluruh pendidik, staf, bagian administrasi, dan pihak-pihak terkait.
  • Mengizinkan pendidik untuk melibatkan diri dan bekerja dengan ABK sebagai pelatihan mereka.
  • Mempekerjakan guru yang berkebutuhan khusus sehingga memperoleh perspektif baru di lingkungan sekolah.
  • Melibatkan petugas Kesehatan yang bekerja dengan pendidik dalam melakukan identifikasi pada kebutuhan belajar peserta didik.
Sejalan dengan pemaparan di atas, Minsih, dkk, dalam Andriani, dkk. (2023), menyebutkan aspek-aspek yang dapat meningkatkan efikasi guru adalah budaya sekolah, sikap guru, keahlian guru, serta partisipasi dan kerjasama. Kerjasama yang dimaksud adalah dengan semua pihak yang terlibat, yaitu guru lainnya, orang tua, hingga masyarakat.
Kemudian dalam pengimplementasiannya, pendidikan inklusi dapat menggunakan kurikulum yang sesuai, yakni kurikulum Universal Design for Learning (UDL). Israel, dkk dalam Rosada, dkk. (2018) mengungkapkan bahwa UDL adalah rencana dan kerangka dalam menyampaikan pembelajaran yang bertujuan untuk meningkatkan pembelajaran yang bermakna, serta mengurangi hambatan bagi peserta didik yang memiliki keragaman latar belakang, budaya, maupun anak-anak disabilitas. UDL memiliki tiga prinsip menurut Anne Meyer, dkk., yaitu menyediakan beragam cara dalam melibatkan peserta didik, menyediakan berbagai cara dalam mempresentasikan informasi, dan menyediakan berbagai cara untuk melakukan aktivitas, serta berekspresi. Terdapat pula model integrated learning yan dapat digunakan, yakni proses peserta didik untuk memecahkan permasalahan, melakukan suatu eksperimen, mengumpulkan dan menganalisis data, hingga menarik kesimpulan, atau dapat dikatakan sebagai pembelajaran yang bermakna dengan menerapkan konsep ke dalam kehidupan nyata.
Berikutnya, sebelum melakukan pembelajaran, sekolah perlu melakukan asesmen untuk memetakan kebutuhan peserta didik. Asesmen diartikan sebagai pengumpulan, pengolahan, dan penggunaan data yang mencakup aspek kognitif dan non kogntiif dalam rangka meningkatkan kualitas belajar peserta didik. Asesmen pada ABK disebut juga asesmen diagnostik, yakni suatu proses sistematis dan komprehensif untuk menggali permasalahan lebih lanjut untuk mengetahui potensi, kemampuan, serta hambatan yang dimiliki PDBK. Hasil asesmen tersebut kemudian dijadikan dasar dalam pemberian layanan pendidikan yang sesuai dengan berdasar modalitas atau potensi yang dimiliki untuk mnyusun program pembelajaran. Asesmen yang dilakukan terdiri dari asesmen akademik dan non akademik. Kedua asesmen tersebut dapat dilakukan oleh guru maupun bekerjasama dengan pihak yang ahli, seperti psikolog.
Pentingnya pendidikan inklusi sebagai jawaban dari tantangan pendidikan abad ke-21, memberikan peluang untuk mewujudkan perkembangan pendidikan inklusi. Penyelenggaraan pendidikan inklusi di Indonesia memang masih menjadi kontroversi, namun demikian, praktik pendidikan inklusi telah menunjukkan kebermanfaatan, salah satunya adalah perwujudan keadilan bagi setiap individu untuk memperoleh pendidikan, yang juga memberikan ruang interaksi antara peserta didik berkebutuhan khusus dengan peserta didik lainnya.

D. Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan

Pendidikan inklusi pada abad ke-21 ini merupakan wujud dari nilai keberagaman, keadilan, dan kesetaraan dalam hak memperoleh pendidikan. Inklusi adalah falsafah dalam menghargai beragam keunikan individu dan keterbukaan terhadap perbedaan. Konsep ini tidak hanya diperuntukkan bagi anak berkebutuhan khusus yang terlihat secara fisik, melainkan bagi setiap anak, termasuk anak dengan latar belakang sosial ekonomi yang rendah, berasal dari kelompok minoritas, berada di daerah terpencil, korban kekerasan, anak yang berada di daerah konflik, dan sebagainya. Pendidikan inklusi di Indonesia sudah termaktub dalam peraturan Kementerian Pendidikan Nomor 48 Tahun 2023, yang didasarkan pada hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan yang layak dan berkualitas.
Pendidikan inklusi dapat terwujud dengan adanya kolaborasi antar pihak, yakni sekolah, anak berkebutuhan khusus, orang tua, hingga masyarakat. Dalam konsep inklusi, yang menyesuaikan adalah sekolah pada peserta didik, sehingga sesuai dengan kebutuhan peserta didiknya. Hal-hal yang disesuaikan yaitu kurikulum, aksesibilitas, metode pembelajaran, evaluasi atau penilaian, tenaga pendidik, dan penggunaan asesmen. Pendidikan inklusi memerlukan kebijakan pemerintah, budaya, dan implementasi yang berjalan beriringan, sehingga dapat mendukung perkembangan inklusi.

Saran

  • Bagi penulis: penulis menyadari bahwa artikel ini jauh dari sempurna. Karenanya, penulis akan berupaya lebih fokus pada inti dari topik pembahasan, dengan sumber yang lebih kaya.
  • b. Bagi pembaca: pendidikan inklusi di abad ke-21, perlu diwujudkan bersama-sama melalui kolaborasi aktif, baik sebagai pendidik, orang tua, maupun anggota masyarakat. Karenanya, kita perlu membangun atmosfer inklusi yang dimulai dari kesadaran diri kita akan pentingnya falsafah ini, seperti saling menghargai keberagaman dan keunikan setiap individu.

References

  1. Andriani, O. , Pangestu, P. E., Noviyanti, D. F., & Julianti, S. Landasan Filosofis dalam Optimalisasi Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi. JUPE2: Jurnal Stikes Banyuwangi 2023, 2, 185–201. [Google Scholar]
  2. Aranditio, S. , Napitupulu, E. L., Irawati, D., & Utami, K. D. (2023). Defisit Guru Pendamping Khusus Bagi Hambat Pendidikan Inklusi. Retrieved, 2024, from https://www.kompas.id:.
  3. https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/11/12/defisit-guru-khususmenghambat-pendidikan-inklusi. 2023.
  4. Arriani, F. , Agustiyawati, Rizki, A., Widiyanti, R., Wibowo, S., Tulalessy, C.,... Maryanti, T. (2022). Panduan Pelaksanaan Pendidikan Inklusif.
  5. Ashar, M. N. , & Rahmahtrisilvia. (2022). Pengantar Pendidikan untuk Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta: Direktorat Pendidikan Profesi Guru Kemendikbudristek.
  6. Bahasa, B. P. (2016). https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/disabilitas. . Retrieved.
  7. from kbbi.kemendikbud.go.id: https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/disabilitas.
  8. Bahasa, B. P. (2016). https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/inklusi. Retrieved 2024, from kbbi.kemendikbud.go.id: https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/inklusi.
  9. Damayanto, A. , Prabawati, W., & Jauhari, M. N. Kasus Bullying pada Anak Berkebutuhan Khusus di Sekolah. Jurnal Orthopedagogia 2020, 6, 104–107. [Google Scholar]
  10. Irawati, & Winario, M. Urgensi Pendidikan Multikultural, Pendidikan Segregasi, dan Pendidikan Inklusi di Indonesia. Instructional Development Journal (IDJ) 2020, 3, 177–187. [Google Scholar] [CrossRef]
  11. Jauhari, A. Pendidikan Inklusi Sebagai Alternatif Solusi Mengatasi Pemasalahan Sosial Anak Penyandang Disabilitas. Jurnal IJTIMAIYA 2017, 1, 23–38. [Google Scholar]
  12. Kominfo, B. H. (2023). Kominfo Perkuat Kolaborasi Aksi Literasi Digital untuk.
  13. Disabilitas. Jakarta: Kominfo. Retrieved 2024, from https://www.kominfo.go.id/content/detail/47936/siaran-pers-no35hmkominfo032023-tentang-kominfo-perkuat-kolaborasi-aksi-literasidigital-untuk-disabilitas/0/siaran_pers.
  14. Menteri Pendidikan, K. R. (2023). Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas pada Satuan Pendidikan Anak Usia Dini Formal, Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah, dan Pendidikan Tinggi.
  15. Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 48 Tahun 2023, 48.
  16. Nasution, F. , Anggraini, L. Y., & Putri, K. Pengertian Pendidikan, Sistem Pendidikan Sekolah Luar Biasa, dan Jenis-jenis Sekolah Luar Biasa. Jurnal Edukasi Nonformal 2022, 3, 422–427. [Google Scholar]
  17. Nurfadhillah, S. (2021). Pendidikan Inklusi: Pedoman bagi Penyelenggaraan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Sukabumi: CV Jejak.
  18. Nurfadillah, S. , Saadah, L., Cahyani, A. P., Haya, A. F., Rachma, N., Umayyah, N., & Huzaemah. (2022). Landasan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi di Sekolah Alam Tangerang. Masaliq: Jurnal Pendidikan dan Sains 2022, 2, 669677. [Google Scholar]
  19. Rosada, A. , Oktafiana, S., Akbar, G., Astriani, C., Setiawan, B. A., Susena, D. W.,... Trimaulani, Z. K. (2018). Menjadi Guru Kreatif: Praktik-praktik Pembelajaran di Sekolah Inklusif. Yogyakarta: PT Kanisius.
  20. Wati, K. F. , Indriani, S., Agustomi, & Andriani, O. (2024). Menjawab Kebijakan Pemerintah Mengenai Perkembangan Dunia tentang Pendidikan Inklusi. Dharma Acariya Nusantara: Jurnal Pendidikan, Bahasa, dan Budaya 2024, 2, 37–49. [Google Scholar]
  21. Wijaya, M. M. , & Supriyono. Pengembangan Pendidikan Inklusi: Argumentasi dan Tantangan di Era Modern. Mimikri: Jurnal Agama dan Kebudayaan 2022, 8, 415–430. [Google Scholar]
Disclaimer/Publisher’s Note: The statements, opinions and data contained in all publications are solely those of the individual author(s) and contributor(s) and not of MDPI and/or the editor(s). MDPI and/or the editor(s) disclaim responsibility for any injury to people or property resulting from any ideas, methods, instructions or products referred to in the content.
Copyright: This open access article is published under a Creative Commons CC BY 4.0 license, which permit the free download, distribution, and reuse, provided that the author and preprint are cited in any reuse.
Prerpints.org logo

Preprints.org is a free preprint server supported by MDPI in Basel, Switzerland.

Subscribe

© 2024 MDPI (Basel, Switzerland) unless otherwise stated